Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya utang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang. Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan,
firman
Allah
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman
yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS.
Al-Baqarah: 245)
dalam
berhutang harus ekstra hati-hati. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke
dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
Sabdanya lagi :
[Dan barangsiapa yang berhutang, kemudian ia berniat tidak akan
membayar hutangnya, lalu ia mati, maka Allah akan bertanya di hari kiamat:
" Apakah kamu mengira bahawa aku tidak akan menuntut hak hambaku?, maka di
ambillah amal kebaikan orang itu, dan di berikan pada orang yang memberi
hutang, dan jika tidak mempunyai amal kebaikan, maka dosa-dosa orang yang
memberi hutang itu, di berikan pada orang-orang yang berhutang].
Rasulullah S.A.W. mengingatkan kita bahawa orang yang berhutang
terikat dengan pembayaran. Dia mesti menjelaskan hutangnya semasa di dunia,
kerana apabila dia dah mati dan dia masih lagi menanggung hutang, maka rohnya
akan tergantung.
Abu Said R.a berkata :
"Telah di bawa kepada Rasulullah S.A.W jenazah untuk
disembahyangkan, lalu Nabi bertanya: Apakah mayat ini masih menanggung hutang?,
Sahabat menjawab: Ya, Nabi bertanya: "Apakah ia ada meninggalkan harta
untuk membayarnya?, jawab Sahabat: Tidak. Nabi bersabda : "Sembahyanglah
kamu kepada kawanmu itu, Nabi sendiri tidak ikut menyembahyangkannya. Kemudian
Ali Bin Talib berkata: "Biarlah saya yang membayar hutangnya".
Sesudah itu, Nabi segera maju menyembahyangkannya, lalu ia berkata kepada Ali,
Semoga Allah membebaskan tanggunganmu (dirimu) dari api neraka, sebagaimana
kamu membebaskan tanggungan saudara yang muslim itu. Tidaklah seorang Muslim
yang membayar hutang saudaranya, melainkan Allah akan membebaskan tanggungannya
(dirinya) dari api neraka pada hari kiamat kelak.
Oleh itu seseorang yang berhutang janganlah menangguhkan bayaran,
apabila mempunyai peluang untuk membayarnya. Perbuatan tersebut, adalah
tergolong dalam perbuatan orang yang zalim dan dia berhak mendapat hukuman
Allah di atas perbuatannya.
Ingat Bahaya Berhutang
Untuk
setiap orang yang berhutang seharusnya mengingat bahaya banyak berhutang
berikut ini.
1.
Akan menyusahkan dirinya di akhirat kelak. Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ
قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih
memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi
dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada
lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih).
2. Jiwanya masih menggantung hingga hutangnya
lunas. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ
حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan
hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi no. 1078 dan
Ibnu Majah no. 2413. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Al ‘Iroqiy mengatakan, “Urusannya masih menggantung, artinya tidak bisa kita
katakan ia selamat ataukah sengsara sampai dilihat uhtangnya tersebut lunas
ataukah tidak.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142). Asy Syaukani berkata, “Hadits ini
adalah dorongan agar ahli waris segera melunasi hutang si mayit. Hadits ini
sebagai berita bagi mereka bahwa status orang yang berhutang masih menggantung
disebabkan oleh hutangnya sampai hutang tersebut lunas. Ancaman dalam hadits
ini ditujukan bagi orang yang memiliki harta untuk melunasi hutangnya lantas ia
tidak lunasi. Sedangkan orang yang tidak memiliki harta dan sudah bertekad
ingin melunasi hutangnya, maka ia akan mendapat pertolongan Allah untuk
memutihkan hutangnya tadi sebagaimana hal ini diterangkan dalam beberapa
hadits.” (Nailul Author, 6/114). Penjelasan Asy Syaukani menunjukkan ancaman
bagi orang yang mampu melunasi hutang lantas ia tidak amanat. Ia mampu
melunasinya tepat waktu, namun tidak juga dilunasi. Bahkan seringkali
menyusahkan si pemberi hutang. Padahal si kreditur sudah berbaik hati
meminjamkan uang tanpa adanya bunga dan mungkin saja si kreditur butuh jika
hutang tersebut lunas.
3. Diberi status sebagai pencuri jika berniat
tidak ingin mengembalikan hutang. Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ
أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
“Siapa saja
yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah
(pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Al Munawi mengatakan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan
pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.” (Faidul Qodir, 3/181)
4. Berhutang sering mengantarkan pada banyak
dusta. Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ «
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ
قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ
« إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berdo’a di dalam shalat: Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom
(Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak hutang).” Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan
dari hutang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika
dia berjanji, dia akan mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589). Al Muhallab
mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya memotong segala
perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang menunjukkan hal ini adalah do’a
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallamketika
berlindung dari hutang dan hutang sendiri dapat mengantarkan pada dusta.”
(Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 12/37). Realita yang ada itulah sebagai
bukti. Orang yang berutang seringkali berdusta ketika pihak kreditur datang
menagih, “Kapan akan kembalikan utang?” “Besok, bulan depan”, sebagai jawaban.
Padahal itu hanyalah dusta dan ia sendiri enggan melunasinya.
Jika Mampu Mengembalikan Hutang, Segeralah Tunaikan
Jika
sudah mengetahui bahaya di atas, maka tentu saja kita harus bersikap amanat.
Jika mampu lunasi hutang, segeralah lunasi. Kita tidak tahu kapan nafas kita
berakhir. Barangkali ketika kita mati, malah hutang-hutang kita yang sekian
banyak belum juga terlunasi. Sungguh nantinya keadaan seperti ini akan
menyusahkan diri kita sendiri.
Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya yang paling di antara kalian
adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari no. 2393)
Sudah
berniat melunasi hutang dan sekeras tenaga berusaha untuk melunasinya, itu pun
sudah termasuk sikap yang baik. Allah akan menolong orang semacam ini dalam
urusannya.
Dulu
Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan,
“Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan
Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar
Nabi dan kholil-ku (kekasihku) shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ
اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى
الدُّنْيَا
“Jika seorang muslim memiliki hutang dan
Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah
akan memudahkannya untuk melunasi hutang tersebut di dunia”. (HR. Ibnu Majah no. 2399 dan An Nasai no.
4686. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih kecuali lafazh "fid dunya"
-di dunia-)
Juga
terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ
دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ
"Allah akan bersama (memberi pertolongan
pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi
hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh
Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih). Moga pertolongan Allah segera datang jika kita benar-benar dan
berusaha keras melunasi hutang-hutang kita.
Salah Memposisikan Dalil
Sikap
orang yang berhutang seharusnya segera melunasi hutangnya. Jangan malah
memiliki sikap sebaliknya, yaitu beranggapan bahwa pemberi utang yang baik
pasti akan memberi tenggang waktu. Barangkali ini dalil yang sering digunakan,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى
مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika
(orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280). Dalilnya
memang benar, namun salah meletakkan. Dalil ini ditujukan bagi pihak pemberi
hutang agar memiliki sikap yang baik dengan memberi tenggang waktu jika orang
yang berutang berada dalam kesulitan atau bahkan lebih baik memutihkan utang
tersebut. Sehingga dalil di atas bukanlah untuknya. Seharusnya yang jadi dalil
baginya adalah dalil-dalil yang menyebutkan bahaya berhutang sebagaimana
disebutkan di atas. Jadi, janganlah salah memposisikan dalil.
Pikir Matang-Matang Sebelum Berhutang
Jika
kita mengingat kembali bahaya berhutang di awal bahasan, maka sudah seharusnya
setiap muslim memikirkan matang-matang sebelum berhutang. Usaha bisa maju tidak
selamanya dengan modal uang. Sudah seringkali di Majalah Pengusaha Muslim
dijelaskan mengenai berbagai usaha dengan modal minimalis atau bahkan ada yang
tanpa modal sama sekali. Ini tentu bisa sebagai pilihan alternatif. Jadikanlah
prinsip, berutang di saat butuh dan merasa mampu mengembalikan. Sehingga dengan
prinsip seperti ini tidak membuat kita sulit di dunia dan di akhirat kelak.
Ingatlah bahwa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri selalu meminta pada Allah
perlindungan dari banyak utang dengan doanya: Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami
wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak
utang) (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589). Ibnul Qoyyim berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallammeminta perlindungan kepada
Allah dari berbuat dosa dan banyak hutang karena banyak dosa akan mendatangkan
kerugian di akhirat, sedangkan banyak utang akan mendatangkan kerugian di
dunia.” (Al Fawaid, 57)
BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG:
[1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
[2]. Pemberi hutang atau
pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang
berhutang.
[3]. Melunasi hutang
dengan cara yang baik
[4]. Berhutang dengan niat
baik dan akan melunasinya
[5]. Berupaya untuk berhutang
dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
[6]. Tidak berhutang
kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
[7]. Tidak boleh melakukan
jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
[8]. Jika terjadi
keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang
memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
[9]. Menggunakan uang
pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang
harus dia kembalikan.
[10]. Diperbolehkan bagi yang
berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga
mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
[11]. Bersegera melunasi
hutang
[12]. Memberikan Penangguhan
waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh
tempo.